Ringkasan ke 2
Termasuk diantara aqidah salaf adalah, tidak wajib bagi seorang muslim untuk mengikatkan dirinya kepada madzhab fikih tertentu, dan boleh baginya keluar dari satu madzhab ke madzhab lainnya berdasarkan kekuatan dalil. Tidak ada madzhab bagi orang awam, madzhabnya adalah madzhab muftinya.
Bagi penuntut ilmu, jika dia memiliki keahlian dan mampu untuk mengetahui dalil-dalil para imam maka hendaklah ia melakukannya, dan berpindah dari madzhabnya seorang imam dalam suatu masalah kepada madzhab imam lain yang memiliki dalil lebih kuat dan pemahaman lebih rajih di dalam masalah lainnya. Yang demikian ini dikatakan sebagai muttabi’ bukanlah mujtahid, karena ijtihad adalah menggali hukum langsung dari Kitabullah dan as-Sunnah sebagaimana para imam yang empat melakukannya ataupun selain mereka dari para ahi fikih dan ahli hadits.
Termasuk diantara aqidah salaf adalah, bahwasanya para sahabat yang empat, yaitu : Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhum, mereka adalah para khalifah yang lurus lagi mendapatkan petunjuk (Khulafa’ur Rasyidin al-Mahdiyin). Mereka yang memegang kekhalifahan nubuwah selama 30 tahun ditambah kekhilafahan Husain Radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
الخلافة في أمتي ثلاثون سنة، ثم مُلك بعد ذلك
yang artinya : ‘Kekhilafahan pada ummatku selama 30 tahun, kemudian akan berbentuk kerajaan setelahnya.’
Termasuk diantara aqidah salaf adalah, wajib mengimani seluruh yang berada di dalam al-Qur'an dan Allah Ta’ala memerintahkan kita dengannya, dan meninggalkan setiap apa yang dilarang Allah kepada kita baik secara global maupun terperinci. Kami mengimani segala apa yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan yang telah shahih penukilan darinya baik yang dapat kita saksikan maupun yang tidak dapat, sama saja baik yang dapat kita nalar maupun yang tidak kita ketahui dan tidak pula dapat kita telaah hakikat maknanya. Kita melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan kita menjauhi terhadap segala apa yang Allah dan Rasul-Nya melarangnya.
Kita berhenti pada batasan-batasan (Hudud) Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan yang datang dari Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin. Wajib bagi kita mengikuti segala apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam baik berupa keyakinan, amal perbuatan, dan ucapan, serta meniti jalannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan jalannya para Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin yang empat baik berupa keyakinan, amal perbuatan mapun ucapan. Inilah dia sunnah yang sempurna itu, dikarenakan sunnah Khalifah ar-Rasyidin diikuti sebagaimana mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Umar bin Abdul Aziz berkata :
سن لنا رسول الله وولاة الأمر من بعده سننا، الأخذ بها اعتصام بكتاب الله، وقوة على دين الله، ليس لأحد تبديلها ولا تغييرها، ولا النظر في أمرٍ خالفها، من اهتدى بها فهو المهتدي، ومن استنصر بها فهو المنصور، ومن تركها واتبع غير سبيل المؤمنين ولاّه الله ما تولى وأصلاه جهنم وساءت مصيراً
Artinya : ‘Rasulullah meninggalkan sunnah bagi kita demikian pula para pemimpin setelah beliau, mengambil sunnah dengan berpegang terhadap Kitabullah dan memperkuat agama Allah. Tidak ada seorangpun yang merubah maupun menggantinya, tidak pula ada pandangan terhadap sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa yang berpetunjuk dengannya maka ia akan mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang menolongnya maka ia akan ditolong. Namun barangsiapa yang meninggalkannya dan mengikuti selain jalannya orang yang beriman maka Allah akan membiarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang ia condong padanya dan baginya jahannam seburuk-buruk tempat kembali.’
Sebagai saksi kebenaran terhadap hal ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة
yang artinya : ‘Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah itu sesat.’ Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok agama, dan hadits ini semakna dengan hadits :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
yang artinya : ‘Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan kami yang tidak ada perintahnya maka tertolak.’
Di dalam hadits ini terdapat suatu peringatan dari mengikuti perkara-perkara yang baru (muhdats) di dalam agama dan ibadah. Yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala perkara yang diada-adakan tanpa ada dasarnya dari syariat yang menunjukkan pensyariatannya. Adapun jika suatu perkara memiliki asal di dalam syariat yang menunjukkan pensyariatannya maka bukanlah hal ini termasuk bid’ah secara syariat, namun dimutlakkan sebagai bid’ah secara bahasa. Maka setiap orang yang mengada-adakan sesuatu dan menyandarkannya kepada agama padahal tidak ada asal yang yang menunjukkannya maka ia termasuk kesesatan, dan agama ini berlepas diri darinya baik itu dalam masalah keyakinan, perbuatan maupun ucapan.
Adapun yang terdapat pada ucapan salaf yang menyatakan kebaikan beberapa bid’ah, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa tidak secara syar’i (istilah), diantaranya adalah ucapan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mengumpulkan manusia pada saat sholat Tarawih di bulan Ramadhan pada imam yang satu di Masjid, beliau keluar dan melihat mereka sedang sholat, beliau berkata :
نعمت البدعة هذه
yang artinya : ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah’, namun amalan ini memiliki dasar di dalam syariat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah sholat Tarawih secara berjama’ah di Masjid, kemudian beliau meninggalkannya karena takut akan diwajibkan kepada ummatnya sedangkan ummatnya tidak mampu mengamalkannya.
Ketakutan ini sirna setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam, oleh karena itu Umar menghidupkannya kembali. Adapun ibadah yang telah tetap di dalam syariat maka tidak boleh menambah-nambahinya.
Misalnya adzan, telah baku kaifiyatnya yang disyariatkan tanpa perlu menambah-nambah maupun mengurang-ngurangi. Demikian pula sholat, telah baku kaifiyatnya yang disyariatkan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
صلوا كما رأيتموني أصلي
yang artinya : ‘Sholatlah kamu sebagaimana aku sholat.’ Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Shahih’-nya. Haji pun juga telah baku kaifiyatnya dari syariat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
خذوا عني مناسككم
yang artinya : ‘Ambillah dariku manasik hajimu.’ Ada beberapa perkara yang dilakukan oleh kaum muslimin yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Namun perkara-perkara ini merupakan suatu keharusan (dharuriyah) dalam rangka memelihara Islam, mereka memperbolehkanya dan mendiamkannya, seperti Utsman bin ‘Affan yang mengumpulkan mushaf menjadi satu karena khawatir ummat akan berpecah belah, dan para sahabat lainpun menganggap hal ini baik, karena padanya terdapat maslahat yang sangat jelas.
Juga seperti penulisan hadits Nabi yang mulia dikarenakan khawatir akan sirna karena kematian para penghafalnya. Demikan pula penulisan tafsir al-Qur'an, al-Hadits, penulisan ilmu nahwu untuk menjaga Bahasa Arab yang merupakan sarana dalam memahami Islam, penulisan ilmu mustholah hadits. Semua ini diperbolehkan dalam rangka menjaga syariat Islam dan Allah Ta’ala sendiri bertanggung jawab dalam memelihara syariat ini sebagaimana dalam firman-Nya :
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
yang artinya : ‘Sesungguhnya kami yang menurunkan al-Qur'an dan sesungguhnya kami pula yang bertanggung jawab memeliharanya.’ (al-Hijr : 9)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
يحمل هذا العلم من كل خَلَف عُدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المُبطلين، وتأويل الجاهلين
yang artinya : ‘Ilmu ini diemban pada tiap generasi oleh orang-orang adilnya, mereka menghilangkan perubahan orang-orang yang ekstrim, penyelewengan orang-orang yang bathil dan penakwilan orang-orang yang bodoh.’ Hadits ini hasan dengan jalan-jalannya dan syawahid (penguat)-nya.
Inilah aqidah generasi pertama dari ummat ini, dan aqidah ini adalah aqidah yang murni seperti murninya air tawar, aqidah yang kuat seperti kuatnya gunung yang menjulang tinggi, aqidah yang kokoh seperti kokohnya tali simpul yang kuat, dan ia adalah aqidah yang selamat, jalan yang lurus di atas manhaj al-Kitab dan as-Sunnah serta di atas ucapan Salaful Ummah dan para imamnya. Dan ia adalah jalan yang mampu menghidupkan hati generasi pertama ummat ini, ia merupakan aqidah Salafush Shalih, Firqoh Najiyah (Golongan yang selamat) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Aqidah ini mrp aqidahnya para imam yang empat dan pemegang madzhab yang masyhur serta para pengkutnya, aqidahnya jumhur ahli fikih dan ahli hadits serta para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan aqidahnya orang-orang yang meniti jalan mereka hingga saat ini dan hingga hari kiamat. Sesungguhnya telah berubah orang-orang yang merubah ucapan-ucapan mereka, oleh sebagian mutaakhirin (orang-orang generasi terakhir) yang menyandarkan diri mereka kepada madzhab mereka.
Maka wajib atas kita kembali kepada aqidah salafiyah yang murni, kepada sumbernya yang telah direguk oleh orang-orang terbaik dari Salaf Sholih. Maka kita diam terhadap apa yang mereka diamkan, kita menjalankan ibadah sebagaimana mereka menjalankannya, dan kita berpegang dengan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Salaful Ummah dan para imamnya serta qiyas yang shahih pada perkara-perkara yang baru (kontemporer).
Imam an-Nawawi berkata di dalam al-Adzkar :
واعلم أن الصواب المختار ما كان عليه السلف رضي الله عنهم، وهذا هو الحق، ولا تغترن بكثرة من يخالفه
yang artinya : ‘Ketahuilah, bahwa kebenaran yang terpilih adalah apa yang para salaf Radhiyallahu ‘anhum berada di atasnya.’
Demikian pula Abu Ali al-Fudhail bin ‘Iyyadh berkata :
الزم طرق الهدى ولا يضرك قِلة السالكين، وإياك وطرق الضلالة، ولا تغترن بكثرة الهالكين
yang artinya : ‘Tetapilah jalan-jalan petunjuk dan tidaklah akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menitinya. Jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan, dan janganlah dirimu terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa.’
Inilah satu-satunya jalan yang akan memperbaiki keadaan ummat ini. Telah benar apa yang dikatakan oleh Imam Malik bin Anas Rahimahullahu, seorang penduduk Madinah al-Munawarah ketika berkata :
لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها
yang artinya : ‘Tidaklah akan baik akhir ummat ini kecuali mereka mengikuti baiknya awal ummat ini.’ Tidaklah akan musnah kebaikan di dalam ummat ini, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda di dalam haditsnya :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
yang artinya : ‘Akan senantiasa ada segolongan dari ummatku yang menampakkan kebenaran, tidaklah membahayakan mereka orang-orang yang mencela, mereka tetap dalam keadaan demikian sampai datangnya hari kiamat.’
Inilah Aqidah Salaf Sholih yang telah disepakati oleh sejumlah besar para ulama, diantaranya adalah Abu Ja’far ath-Thahawi, yang telah disyarah aqidahnya oleh Ibnu Abil Izz al-Hanafi salah seorang murid Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, yang dinamakan dengan
‘Syarh Aqidah ath-Thahawiyah’. Diantara mereka juga Abul Hasan al-Asy’ari di dalam kitabnya ‘al-Ibanah ‘an Ushulid Diyaanah’, yang di dalamnya terhimpun aqidah beliau yang terakhir, beliau berkata :
قولنا الذي نقول به، وديانتنا التي ندين بها: التمسك بكتاب الله عز وجل، وبسنة نبينا ، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن حنبل قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون
yang artinya : ‘Pendapat yang kita berpendapat dengannya dan agama yang kita beragama dengannya adalah : kita berpegang dengan Kitabullah Azza wa Jalla dan dengan Sunnah Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa Sallam, serta dengan apa yang diriwayatkna dari para sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kami berpegang dengan itu semuanya, dan dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, dan orang-orang yang menyelisihi ucapannya adalah orang yang sesat.’
Termasuk pula tulisan tentang aqidah salafus shalih adalah apa yang ditulis oleh Ash-Shabuni dalam kitabnya ‘Aqidah Salaf Ashabul hadits’, dan juga diantaranya adalah Muwafiquddin Abu Qudamah al-Maqdisy al-Hanbali dalam kitabnya ‘Lum’atul I’tiqod al-Haadi ila Sabilir Rosyad’, dan selain mereka dari para ulama yang mulia. Semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan.
Kami memohon kepada Allah untuk menunjuki kami kepada Aqidah yang murni, jalan yang terang benderang lagi suci dan akhlak yang mulia terpuji. Dan kita memohon supaya menghidupkan kita di atas Islam dan mematikan kita di atas syariat nabi kita Muhammad alaihi Sholatu wa Salam.
Ya Allah, tetapkanlah kami sebagai muslim dan kumpulkanlah kami bersama orang-orang yang shalih bukan orang-orang yang hina lagi terfitnah, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami serta seluruh kaum mukminin pada hari ditegakkannya perhitungan. Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa mengilhamkan kepada kami kebenaran di dalam berkata dan beramal, sesungguhnya Ia Maha Mampu atas segala hal dan Dialah Dzat satu-satunya yang layak dipinta. Demikianlah akhir seruan kami, segala puji hanyalah milik Allah pemelihara alam semesta.
Pelayan Sunnah Nabawiyah
Abu Muhammad Abdul Qodir al-Arna`uth
Allahlah di balik segala tujuan.
Label: Kitab Alwajiz
0 Komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan anda :
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda