Yaa Allah, Aku Jatuh Cinta
Cinta adalah perasaan yang senantiasa melekat dalam hati setiap hamba. Inilah anugerah yang Allah berikan kepada manusia untuk dikelola dan diarahkan kepada hal-hal yang positif sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya inginkan dan tetapkan. Namun sangat disayangkan, kebanyakan manusia tidak mengerti cara mengelola perasaan cinta pada koridor yang benar. Akibatnya, mereka menggelincirkan diri mereka sendiri ke jurang kehancuran. Tidak jarang mereka mencintai sesuatu yang tidak bermanfaat bagi mereka dan membenci sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Hal ini terjadi karena jahil-nya mereka akan hakikat cinta dan benci yang sesungguhnya. Sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dicintai dan dibencinya, juga untuk dan karena apa sebetulnya ia mencintai dan membenci. Bahkan, dia tidak mengetahui apakah yang dia cintai atau dia benci itu merupakan suatu kebaikan atau bukan.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Sesungguhnya cinta dan benci karena Allah 'Azza wa Jalla merupakan pintu yang sangat agung di antara pintu-pintu kebaikan di akhirat. Manusia yang beriman kepada Allah akan menyandarkan rasa cinta dan bencinya kepada petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini merupakan sebab seseorang mendapatkan kelezatan iman di dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:
“Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya niscaya ia akan merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya menjadi yang paling ia cintai daripada selain keduanya, (2) Mencintai seseorang karena Allah semata, (3) Benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api Neraka.”[1]
Sebagian orang mengira bahwa cinta dan benci adalah suasana hati yang tidak mampu untuk dikendalikan oleh manusia. Padahal Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuntun kita bagaimana cara mencintai dan membenci karena Allah semata. Sehingga apabila kita melaksanakannya, niscaya akan kita dapatkan kelapangan dan keteduhan, yakni keimanan dan keamanan.
Seorang Muslim tidaklah mencintai seseorang kecuali karena agamanya yang haq, dan tidak pula membencinya karena agamanya yang bathil. Oleh sebab itu, seorang Muslim mencintai para Nabi, shiddiqin, para syuhada dan orang-orang shalih, karena mereka melakukan apa-apa yang dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Ia mencintai mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini merupakan kesempurnaan cinta mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan seorang Muslim juga membenci orang-orang kafir, kaum munafiqin, ahlul bid’ah dan pelaku maksiat, karena mereka melakukan apa yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membenci mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Dan siapa saja yang melakukan itu, maka ia telah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.
Di antara tanda kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Rabb Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mencintai sesuatu yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia mencintai seseorang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena tujuan-tujuan yang lain. Banyak manusia merasa tidak puas Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang menjadi wali dan penolongnya, lalu ia mendekat kepada tuhan-tuhan selain Allah dan mencintai mereka seperti ia mencintai Allah. Ia mengira tuhan-tuhan itu dapat membuat mereka menjadi lebih dekat kepada Allah. Ini jelas merupakan perbuatan syirik yang nyata.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat-Nya, telah menyatukan hati kaum mukminin di atas keta’atan kepada-Nya, dan memadukan mereka di atas manhaj-Nya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berhak disyukuri atas nikmat tersebut, dengan menjadikan cinta semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan tali-Nya yang kuat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang Neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imran: 103)
Sungguh telah terjadi mukjizat yang tidak kuasa dilakukan oleh siapa pun kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dan tidak bisa diwujudkan kecuali oleh ‘aqidah ini. Dan tidak mungkin menyatukan hati-hati itu kecuali cinta karena Allah. Hanya itu yang dapat mencairkan seluruh dendam sejarah yang pernah terjadi, menyatukan hati-hati yang bermusuhan, menyatukan tabiat-tabiat yang saling berlainan dan menghilangkan fanatisme golongan ala Jahiliyah. Hanya dengan itu pulalah barisan dapat disatukan di bawah naungan panji kebenaran yang besar dan tinggi. Suatu kaum akan berkasih sayang dengan rahmat Allah di antara mereka, walaupun tidak ada hubungan darah di antara mereka, tidak ada keuntungan harta yang diperoleh dan tidak pula urusan dagang di antara mereka.[2]
Ketika seseorang telah menjadikan materi yang fana sebagai dasar rasa cinta dan bencinya, maka sesungguhnya ia hanya akan menjadi penghalang dan membuat manusia berselisih, berpecah belah dan tidak bisa mempersatukan. Sesungguhnya permusuhan yang timbul di antara orang-orang yang tadinya berkawan akrab adalah bersumber dari kecintaan mereka atas dasar kepentingan dunia, yang mereka berkumpul di atas kesesatan dan saling mendorong kepada kemaksiatan. Dan pada hari dimana setiap diri akan mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuatnya di dunia, sebagian dari mereka akan mencela sebagian yang lain dan melemparkan kesesatan juga akibat buruk atas sebagian yang lain. Pada hari itu mereka akan berubah menjadi musuh, padahal sebelumnya mereka adalah teman akrab yang saling membantu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Hilanglah semua kawan karib dan teman akrab dahulu. Dan ketika orang-orang yang berkawan karib itu sibuk dalam persengketaan dan penyesalan, orang-orang yang berkasih sayang karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berada dalam rasa aman, thuma’ninah dan sakinah, saling berhubungan karena Allah dan saling menasihati karena Allah, juga mereka mendapatkan naungan dari Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
“Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati.” (QS. Az-Zukhruf: 68)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1)Seorang Imam yang adil, (2)Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Rabb-nya, (3)Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid, (4)Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dam berpisah juga karena Allah, (5)Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang terpandang dan cantik untuk berzina lantas ia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.” (6) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, (7)Seorang yang berdzikir kepada Allah dengan menyepi seorang diri hingga bercucuran air matanya.” [3]
Dan barang siapa yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia akan bersama dengan yang dicintainya, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:
“Seorang laki-laki berpapasan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu di sisi beliau ada beberapa orang, salah seorang di antara mereka berkata: ‘Sesungguhnya aku mencintainya karena Allah.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Apakah engkau sudah memberitahukan kepadanya?’
Ia menjawab: ‘Belum.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Temuilah ia dan beritahukan kepadanya.’
Maka ia pun bangkit menemuinya dan memberitahukan kepadanya. Laki-laki itu membalas: ‘Semoga Allah mencintaimu yang karena-Nya engkau mencintaiku.’
Kemudian ia kembali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, lalu ia pun menyampaikan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Engkau bersama orang yang engkau cintai, dan bagimu apa yang engkau harapkan (berupa pahala)?’”[4]
Mencintai dan membenci karena Allah ‘Azza wa Jalla memiliki beberapa keutamaan yang akan menjadi keuntungan tersendiri untuk hamba-hamba yang menjadikan keridhaan Allah sebagai satu-satunya tujuan, yaitu :
1. Cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang saling mencintai karena Allah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Seorang laki-laki mengunjungi saudaranya (seiman) di kota lain. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim satu Malaikat untuk mengikuti perjalanannya. Tatkala bertemu dengannya, Malaikat itu bertanya: ‘Kemanakah engkau hendak pergi?’ Ia menjawab: ‘Aku hendak mengunjungi saudaraku di kota lain.’ Malaikat itu bertanya lagi: ‘Adakah suatu keuntungan yang engkau harapkan darinya?’ Ia menjawab: ‘Tidak ada, hanya saja aku mencintainya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.’ Maka Malaikat itu berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena Allah.’” [5]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, artinya:
“Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai seorang hamba niscaya Jibril akan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Lalu Jibril menyerukan kepada penghuni langit: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai fulan, maka cintailah ia.’ Maka penghuni langit pun mencintainya, kemudian diberikan kepadanya penerimaan yang baik di kalangan penduduk bumi.” [6]
2. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah ‘Azza wa Jalla berada di bawah naungan ‘Arsy ar-Rahmaan pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan bertanya nanti pada hari Kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” [7]
3. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya pada hari Kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah riwayat dari Rabb-nya,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku, bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya yang membuat cemburu para Nabi dan syuhada.” [8]
4. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak akan bersedih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, artinya:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan: ‘Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka.’ Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.’ Kemudian beliau membacakan ayat:
“Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)” [9]
5. Cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkan seseorang meraih kelezatan iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Barang siapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.” [10]
6. Cinta dan benci karena Allah merupakan bukti kesempurnaan iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah, sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.” [11]
7. Cinta karena Allah merupakan jalan menuju Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya:
“Kalian tidak akan masuk Surga hingga beriman. Dan kalian tidak akan beriman hingga saling berkasih sayang. Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling berkasih sayang? Sebarkanlah salam di antara kalian.”[12]
Dengan demikian, rasa cinta dan benci karena Allah ‘Azza wa Jalla menempati kedudukan ‘urwatul wutsqa (simpul yang kuat) dalam ikatan iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya ikatan keimanan yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan engkau membenci juga karena Allah.” [13]
Demikianlah rasa cinta dan benci yang benar, yaitu cinta dan benci karena Allah semata yang merupakan puncak tertinggi dalam kesempurnaan iman. Kesanalah pandangan orang-orang yang berlomba-lomba mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kesana pulalah hati orang-orang yang saling berlomba dalam meraih naungan teduh pada hari yang tiada naungan kecuali naungan Allah Tabaaraka wa Ta’ala . Itulah hati orang-orang yang dicintai oleh Allah dan seluruh makluq-Nya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, yaitu hati manusia yang senantiasa terpaut karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Jadi... hati-hati, jangan salah jatuh cinta..!
Wallahu a'lam.
Maraji':
Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly
Tazkiyatun Nafs, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Utsaimin
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly
Catatan kaki:
[1] Riwayat Bukhari (I/60 Fat-hul Baari) dan Muslim (II/13-14, an-Nawawi) dari jalan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
[2] Al-Hubb wal Bughdhu Fillah, Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilaly.
[3] Riwayat Bukhari (II/143 Fat-hul Baari) dan lafadz ini adalah lafadznya, Muslim (VII/121-123, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[4] Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 5125), ahmad (III/150) dan al-Hakim (IV/171) serta selain mereka dari jalan al-Mubarak bin Fudhalah ia berkata: Tsabit al Bunani meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali berkata dalam al-Hubb wal Bughdhu fillah (hal. 69): ‘Sanadnya shahih, perawinya tsiqah, dan al-Mubarak telah menyatakan penyimakannya. Diriwayatkan pula oleh al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/66-67) dari jalur ‘Abdurrazzaq, ia berkata: Ma’mar telah menceritakan kepada kami dari al-Asy’ats bin ‘Abdullah dari Anas bin Malik dengan redaksi yang telah disebutkan di atas.’
[5] Riwayat Muslim (XVI/123-124) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[6] Riwayat Bukhari (VI/303, X/461 Fat-hul Baari), Muslim (XVI/183-184, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[7] Riwayat Muslim (XVI/123, an-Nawawi), dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[8] Hadits shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2390) dan Ahmad (V/236-237).
[9] Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 2508 –Mawaarid) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Syaikh Salim berkata, ‘Sanadnya hasan. Dalam bab ini diriwayatkan juga dari ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Abdullah bin ‘Umar dan selain mereka radhiyallahu ‘anhuma.
[10]Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/298), al-Hakim (I/3 dan IV/168), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIII/52-53), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VII/204), ath-Thayalisi (no. 2495), al-Bazzar (no. 63-Kasyaf).
[11]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4681) dari jalur Yahya bin al-Harits dari al-Qasim dari Abu Umamah secara marfu’.
[12]Riwayat Muslim (II/35, an-Nawawi) dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[13]Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad (IV/286), Ibnu Abu Syaibah dalam al-Iimaan (no. 110) dan ath-Thayalisi (II/48 –Minhatul Ma’buud).
Label: Artikel Lepas
0 Komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan anda :
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda