Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Tauhid
Pertama :
Aqidah beliau tentang tauhid (pengesaan Allah) dan tentang tawassul syar’i serta kebatilan tawassul bid’i.
Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas bagi seseorang untuk berdo’a kepada Allah kecuali dengan asma’ Allah. Adapun do’a yang diizinkan dan diperintahkan adalah keterangan yang terambil dari firman Allah :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Bagi Allah ada nama-nama yang bagus (al-asma’ul-husna), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang yang ilhad (tidak percaya) kepada asma Allah. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (al-A’raf:180)1
Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Makruh hukumnya seseorang berdo’a dengan mengatakan; saya mohon kepadamu berdasarkan hak si fulan, atau berdasarkan hak para Nabi-Mu, atau berdasarkan hak al-Bait al-Haram dan al-Masy’ar al-Haram.2
Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Tidak pantas seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut asma’ Allah. Dan saya tidak suka bila ada orang berdo’a seraya menyebutkan ‘dengan sifat-sifat kemuliaan pada ‘arsy-Mu’3 , atau dengan menyebutkan ‘dengan hak makhluq-Mu’.4
Kedua :
Pendapat Imam Abu Hanifah رحمه الله tantang penetapan sifat-sifat Allah dan bantahan terhadap golongan Jahmiyah.
Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah tidak disifati dengan sifat-sifat makhluk. Murka dan ridha Allah adalah dua dari sifat-sifat Allah yang tidak dapat diketahui keadaannya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah murka dan ridha. Namun tidak dapat dikatakan, bahwa murka Allah itu adalah siksa-Nya dan ridha-Nya itu pahala-Nya.
Kita menyifati Allah sebagaimana Allah menyifati diri-Nya sendiri. Allah adalah Esa, Dzat yang padanya-Nya para hamba memohon, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang menyamai-Nya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui.” Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul. Tangan Allah tidak seperti tangan makhluk-Nya. Wajah Allah tidak seperti wajah-wajah makhluknya.”5
Imam Abu Hanifah رحمه الله berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah, dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam Al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan, dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah.”6
Imam Abu Hanifah رحمه الله juga berkata: “Tidaklah pantas bagi seseorang untuk bebicara tentang Dzat Allah. Tetapi, hendaknya ia menyifati Allah dengan sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah sendiri. Ia tidak boleh berbicara tentang Allah dengan pendapatnya sendiri. Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.7
Ketika ditanya tentang turunnya Allah, Imam Abu Hanifah رحمه الله menjawab,“Allah itu turun tanpa cara-cara seperti halnya turunnya makhluk.”8
Beliau juga berkata: “Dalam berdo’a kepada Allah, kita memanjatkan do’a ke atas, bukan ke bawah, karena bawah tidak mengandung sifat Rububiyyah dan Uluhiyah sedikitpun.9
Beliau juga berkata: “Allah itu murka dan ridha. Namun tidak dapat disebutkan bahwa murka Allah itu siksa-Nya, dan ridha Allah itu pahala-Nya.”10
Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.11
Beliau juga berkata: “Sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk. Allah itu, mengetahui tetapi tidak seperti mengetahuinya makhluk. Allah itu mampu (berkuasa) tetapi tidak seperti mampunya (berkuasanya) makhluk. Allah itu melihat, tetapi tidak seperti melihatnya makhluk. Allah itu mendengar tetapi tidak seperti mendengarnya makhluk. Dan Allah itu berbicara tetapi tidak seperti berbicaranya makhluk.”12
Beliau juga berkata: “Allah itu tidak boleh disifati dengan sifat-sifat makhluk.”13
Beliau berkata: “Siapa yang menyifati Allah dengan sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir.”14
Beliau juga berkata: “Allah memiliki sifat-sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat-sifat dzatiyah Allah adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ‘ilm (mengetahui) sama’ (mendengar), basher (melihat), dan iradah (kehendak). Sedangkan sifat-sifat fi’liyah Allah adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain-lain yang berkaitan dengan sifat-sifat perbuatan. Allah tetap dan selalu memiliki asma’-asma, dan sifat-sifat-Nya.”15
Beliau juga berkata: “Allah tetap melakukan (berbuat) sesuatu. Dan melakukan (berbuat) itu merupakan sifat azali. Yang melakukan (berbuat) adalah Allah yang dilakukan (obyeknya) adalah makhluk dan perbuatan Allah bukanlah makhluk.”16
Beliau juga berkata: “Siapa yang berkata, ‘Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit atau di bumi’, maka orang tersebut telah menjadi kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy. Tetapi saya tidak tahu ‘arsy itu di langit atau di bumi.”17
Ketika ada seorang wanita bertanya kepada beliau: “Di mana Tuhan Anda yang Anda sembah itu?”. Beliau menjawab: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada seseorang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman وَهُوَ مَعَكُمْ (Allah itu bersama kamu)?”18 Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”19
Beliau juga berkata: “Demikian pula tentang tangan Allah di atas tangan-tangan mereka yang menyatakan janji setia kepada Rasul, tangan Allah itu tidak sama dengan tangan makhluk.”20
Beliau juga berkata: “Allah سبحانه و تعالي ada di langit, tidak di bumi.” Kemudian ada orang yang bertanya: “Tahukah Anda bahwa Allah berfirman, “Allah itu bersamamu.”21 Beliau menjawab: “Ungkapan itu seperti kamu menulis surat kepada seseorang, “Saya akan selalu bersamamu”, padahal kamu jauh darinya.”22
Beliau juga berkata: “Bahwa Allah itu mempunyai sifat kalam (berfirman) sebelum Allah berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihis salam.”23
Kata beliau: “Allah berfirman dengan kalam-Nya, dan kalam adalah sifat azali.”24
Beliau berkata lagi: “Allah itu berbicara, tetapi tidak seperti berbicaranya kita.”25
Kata beliau: “Nabi Musa ‘alaihis salam mendengar kalam Allah, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Allah26: “ وكلم الله موسى تكليما ” (Dan Allah telah berfirman langsung kepada Nabi Musa). Allah telah berfirman dan tetap akan berfirman, Allah tidak hanya berfirman kepada Nabi Musa saja.”27
Beliau berkata: “al-Qur’an itu kalam Allah, tertulis dalam mushhaf dan tersimpan (terjaga) di dalam hati, terbaca oleh lisan, dan diturunkan kepada Nabi Muhammad.”28
Kata beliau lagi: “Al-Qur’an itu bukan makhluk.”29
--------------------------------------------------------------------------------
1 ad-Durr al-Mukhtar ma’a Hasyiyat Radd al-Mukhtar, VI/ 396-397
2 Syarh al-Aqidah ath-Thawiyah, hal. 234, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, II/ 285, Syarah al-Fiqh al-Akbar, hal.108
3 Imam Abu Hanifah رحمه الله dan Imam Muhammad bin Hasan tidak suka apabila seseorang berdo’a dengan menyebutkan, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat kemuliaan dari ‘arsy-Mu.” Karena do’a seperti ini tidak ada petunjuk tekstual (nash) yang membolehkan.
Sementara Imam Abu Yusuf membolehkan do’a seperti itu, karena menurut beliau ada nash dari hadits untuk hal itu, yaitu sebuah hadits di mana Nabi berdo’a, “Wahai Allah, saya mohon kepada-Mu dengan tempat-tempat kemuliaan di ‘arsy-Mu dan puncak rahmat dari kitab-Mu.”
Hadits ini ditulis Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, ad-Da’-wat al-Kabirah, ditulis dalam kitab al-Binayah, IX/ 382, dan kitab Nasb ar-Rayah, IV/ 272. Di sanadnya terdapat 3 hal yang dapat menyacatkan hadits :
Daud bin Abu ‘Ashim tidak pernah mendengar hadits dari Ibnu Mas’ud.
Abdul Malik bin Juraij adalah seorang mudallis (menyembunyikan kecacatan hadits) dan mursil (menyebutkan hadits dengan sanad tidak bersambung).
Umar bin Harun dituduh sebagai pendusta. Oleh karena itu, Ibnu al-Jauzi berkata sebagaimana terdapat dalam kitab, al-Binayah, IX/ 382, bahwa hadits ini adalah palsu tanpa diragukan lagi dan sanadnya sangat parah seperti anda lihat. Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, III/198, VI/405, VII/501 Tarqib at-Tadhzib, I/520
4 at-Tawassul wa al-Wasilah hal, 82. Lihat juga, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 198
5 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
6 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
7 Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, II/ 427, Editor Dr. At-Turki, Jala ‘al-‘Ainain, hal. 368
8 Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits, hal. 42, Dar as-Salafiyah. Al-Baihaqi, al-Asma’ wa as-Sifat, hal. 456, Syarh al-Aqidah ath Thahawiyah,hal. 245. Takhrij al-Albani. al-Qari, Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 60
9 al-Fiqh al-Absath, hal. 51
10 Ibid, hal. 56
11 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
12 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
13 al-Fiqh al- Absath, hal. 56
14 al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan komentar al-Albani, hal. 25
15 al-Fiqh al-Akbar, hal. 301
16 Ibid
17 al-Fiqh al-Absath, hal.46. Pernyataan seperti ini juga dinukil dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, V/ 48. Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah, hal. 139. Adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw, hal. 101-102. Ibnu Qadamah dalam al-‘Uluw, hal, 116. Dan Ibnu Abi al-‘Izz dalam Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah. Hal. 301
18 Surah al-Hadid, ayat 4
19 al-Asma wa ash Shifat, hal. 429
20 al-Fiqh al-Absath, hal. 56
21 Surah al-Hadid, ayat 4
22 al-Asma’ ash shifat, II/ 170
23 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
24 Ibid, hal. 301
25 Ibid, hal. 302
26 Surah an-Nisa’ , ayat 164
27 al-Fiqh al-Akbar, hal. 302
28 Ibid, hal. 301
29 Ibid
Label: Aqidah
0 Komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan anda :
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda